Sabtu, 13 Oktober 2012

Paradoks Satpol PP



Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan tragedi berdarah di Tanjung Priok. Tragedi itu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan warga masyarakat yang berujung pada jatuhnya korban baik dari warga sipil maupun aparat keamanan. Bahkan, S. Andika, dan Ida Mahfudah, anggota DPRD DKI juga ikut menjadi korban kekerasan yang dilakukan oknum Satpol PP. Kekerasan demi kekerasan yang melibatkan Satpol PP membuat sebagian kalangan kembali menyuarakan perlunya pembubaran ’polisi’ sipil tersebut. Komite Pembubaran Satpol PP yang terdiri dari elemen mahasiwa, kaum miskin kota, pengamen dan sejumlah LSM seperti PBHI-Jakarta, LBH, Kontras, dan Imparsial jauh hari telah menuntut segera dihapuskannya keberadaan Satpol PP. Seruan tersebut didasarkan pada indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP dalam setiap menjalankan tugas dan kewenangannya.
Patut diakui bahwa kehadiran Satpol PP selama ini lebih banyak membawa masalah ketimbang maslahah bagi warga masyarakat utamanya rakyat kecil. Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Jakarta Centre for Street Children (JCSC) warga miskin di lima wilayah Jakarta mendapat perlakuan kekerasan dari Satpol PP ketika melakukan operasi penertiban. Berbagai tindak kekerasan dan aksi represif yang dilakukan Satpol PP membuat kehadirannya semakin tidak populis di mata masyarakat.
Alih-alih menertibkan dan menentramkan masyarakat, selama ini Satpol PP justeru cenderung menebarkan ancaman ketakutan dan keresahan publik. Dalam menjalankan tugasnya Satpol PP sering dilengkapi dengan senjata api untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Selain persenjataan ala militer, kehadiran Satpol PP juga telah meyedot anggaran yang tidak sedikit. Di Propinsi DKI saja misalnya, setiap tahun tidak kurang dari 250 Milyar anggaran dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan institusi Satpol PP. Pertanyaanya, masih perlukah mempertahankan keberadaan Satpol PP?
Menimbang Pembubaran Satpol PP
Sebagaimana diketahui, Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Jadi pada dasarnya Satpol PP memiliki tiga fungsi utama, yakni, tugas menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan mewujudkan ketenteraman masyarakat. Sayangnya, tugas mulia yang disematkan di pundak Satpol PP tersebut hanya menjadi konsepsi ideal hukum belaka (das sollen).
Dari perspektif hukum pemerintahan daerah, pembubaran Satpol PP bisa saja dilakukan. Karena Satpol PP merupakan perangkat daerah maka institusi yang paling tepat membubarkan Satpol PP adalah pemerintah daerah bersangkutan. Seorang Kepala daerah bisa saja meniadakan keberadaan Satpol PP bila dirasakan kehadirannya hanya membuat keresahan publik dan kesemerawutan penegakan hukum khususnya Perda. Sejatinya, tidak ada kewajiban bagi setiap pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota untuk membentuk Satpol PP. Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang menegaskan bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Namun secara implisit bisa saja ditafsirkan bahwa tugas perbantuan Satpol PP dalam penegakan Perda tersebut tidak bersifat imperatif.
Alternatif lain untuk memuluskan pembubaran Satpol PP adalah mengajukan judicial review undang-undang pemerintahan daerah khususnya pasal 148 kepada Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan tekhnis keberadaan Satpol PP juga bisa diajukan uji materiilnya kepada Mahkamah Agung yang memang berwenang menguji aturan hukum di bawah undang-undang.
Qou Vadis Satpol PP
Sejarah Satpol PP adalah cerita panjang yang bermula sejak zaman VOC menduduki Batavia pada tahun 1620. Gubernur Jenderal VOC waktu itu membentuk satuan polisi yang disebut Bailluw. Satuan tersebut merangkap jaksa dan hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Bailluw bertugas pula menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Selain Bailluw dibentuk pula satuan baru yang disebut Bestuurpolitie atau Polisi Pamong Praja. Tugas utama Bestuurpolitie tersebut adalah membantu pemerintah Kewedanaan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan.
Pemerintahan pertama bentukan proklamasi tetap melanjutkan keberadaan Satpol PP meskipun pembentukannya dilakukan secara bertahap dan tidak serempak. Satpol PP pertama terbentuk adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama “Detasemen Polisi Pamong Praja”. Di Jawa dan Madura Satpol PP dibentuk tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri NO. UR32/2/21/Tahun 1950. Pada Tahun I960 pembentukan Polisi Pamong Praja mulai dikembangkan di luar Jawa dan Madura berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun I960 tanggal 30 Nopember I960. Kemudian menjelang akhir rezim Orde Baru, keberadaan Satpol PP ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Polisi Pamong Praja dengan tetap mengadopsi pola yang sebelumnya.
Pasca reformasi, keberadaan Satpol PP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004. Aturan tersebut mengamanahkan bahwa pada setiap propinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP yang salah satu kewenangannya adalah melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Tidak mengherankan bila sejak dulu dalam setiap aksinya, Satpol PP selalu bersikap represif karena memang begitulah aturan hukum mengaturnya.
Tidak berbeda dengan PP Nomor 32 Tahun 2004, di masa pemerintahan SBY jilid II diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010. Aturan tersebut menegaskan bahwa Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Kini, bentrokan berdarah di Tanjung Priok patut dijadikan momentum terbaik untuk membenahi institusi Satpol PP. Pemerintah, pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat perlu duduk bersama untuk melakukan langkah cepat menangani persoalan yang selama ini ditimbulkan Satpol PP. Barangkali kita perlu berpaku pada pandangan David Layson yang mengatakan bahwa kekerasan bukanlah suatu kekacauan, tetapi ketertiban yang tidak terkontrol (anarchy is not chaos, but order without control).
Terlepas dari ide membubarkan Satpol PP, secara substantif ada dua pertimbangan yang harus diperhatikan untuk membenahi institusi Satpol PP. Pertama, watak militeristik Satpol PP harus dihilangkan dalam setiap menjalankan tugas dan kewenangannnya. Tugas utama Satpol PP dalam mewujudkan ketenteraman masyarakat akan jauh panggang dari api jika watak militeristik itu terus melekat di tubuh Satpol PP. Penggunaan senjata berlebihan apalagi senjata api perlu dihapuskan agar tidak muncul arogansi di tubuh Satpol PP. Aturan hukum yang menegaskan bahwa Satpol PP berkewajiban untuk menciptakan ketertiban dan rasa tenteram bagi warga masyarakat harus ditegakkan secara konsisten dan bertanggungjawab.
Kedua, menimbang keberadaan Satpol PP yang berpotensi memunculkan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum (Perda), perlu diambil langkah cepat untuk mereposisi kehadiran Satpol PP agar murni menjadi tugas perbantuan untuk sekedar melakukan tindakan non-yustisial yang bersifat fungsional dalam hubungannya dengan Kepolisian sebagai penegak hukum sesungguhnya sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2002. Terhadap tugas penegakan Perda dan penegakan kode etik terhadap tindakan indisipliner PNS di daerah bisa diembankan pula kepada PPNS yang dapat mengkoordinasikan tugasnya dengan unit kerja Badan Pengawas Daerah.

NB: Hasil Diskusi dengan kakanda Masnur Marzuki, SH, LLM