Beberapa
waktu lalu kita dikejutkan dengan tragedi
berdarah di Tanjung Priok. Tragedi itu melibatkan Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan warga masyarakat
yang berujung pada jatuhnya korban baik dari warga sipil maupun aparat
keamanan. Bahkan, S. Andika, dan Ida Mahfudah, anggota DPRD DKI juga ikut menjadi
korban kekerasan yang dilakukan oknum Satpol PP. Kekerasan demi kekerasan yang
melibatkan Satpol PP membuat sebagian kalangan kembali menyuarakan perlunya
pembubaran ’polisi’ sipil tersebut. Komite Pembubaran Satpol PP yang terdiri dari
elemen mahasiwa, kaum miskin kota, pengamen dan sejumlah LSM seperti
PBHI-Jakarta, LBH, Kontras, dan Imparsial jauh hari telah menuntut segera
dihapuskannya keberadaan Satpol PP. Seruan tersebut didasarkan pada indikasi
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP dalam setiap menjalankan tugas
dan kewenangannya.
Patut diakui bahwa kehadiran Satpol PP selama ini lebih
banyak membawa masalah ketimbang maslahah
bagi warga masyarakat utamanya rakyat kecil. Berdasarkan laporan yang dihimpun
oleh Jakarta Centre for Street Children (JCSC) warga miskin di lima wilayah
Jakarta mendapat perlakuan kekerasan dari Satpol PP ketika melakukan operasi
penertiban. Berbagai tindak kekerasan dan aksi represif yang dilakukan Satpol
PP membuat kehadirannya semakin tidak populis di mata masyarakat.
Alih-alih menertibkan dan menentramkan masyarakat, selama ini Satpol PP justeru
cenderung menebarkan ancaman ketakutan dan keresahan publik. Dalam menjalankan
tugasnya Satpol PP sering dilengkapi dengan senjata api untuk menunjang kegiatan
operasionalnya. Selain persenjataan ala militer, kehadiran Satpol PP juga telah
meyedot anggaran yang tidak sedikit. Di Propinsi DKI saja misalnya, setiap
tahun tidak kurang dari 250 Milyar anggaran dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan
institusi Satpol PP. Pertanyaanya,
masih perlukah mempertahankan keberadaan Satpol PP?
Menimbang Pembubaran Satpol
PP
Sebagaimana diketahui, Satpol PP merupakan bagian
perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat. Jadi pada dasarnya Satpol PP memiliki tiga fungsi utama,
yakni, tugas menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan mewujudkan
ketenteraman masyarakat. Sayangnya, tugas mulia yang disematkan di pundak
Satpol PP tersebut hanya menjadi konsepsi ideal hukum belaka (das sollen).
Dari perspektif hukum pemerintahan daerah, pembubaran
Satpol PP bisa saja dilakukan. Karena Satpol PP merupakan perangkat daerah maka
institusi yang paling tepat membubarkan Satpol PP adalah pemerintah daerah
bersangkutan. Seorang Kepala daerah bisa saja meniadakan keberadaan Satpol PP bila
dirasakan kehadirannya hanya membuat keresahan publik dan kesemerawutan
penegakan hukum khususnya Perda. Sejatinya, tidak ada kewajiban bagi setiap pemerintah
daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota untuk membentuk Satpol PP. Pasal 148
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang menegaskan
bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong
Praja. Namun secara implisit bisa saja ditafsirkan bahwa tugas perbantuan Satpol
PP dalam penegakan Perda tersebut tidak bersifat imperatif.
Alternatif lain untuk memuluskan pembubaran Satpol
PP adalah mengajukan judicial review
undang-undang pemerintahan daerah khususnya pasal 148 kepada Mahkamah
Konstitusi. Selain itu, Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan tekhnis
keberadaan Satpol PP juga bisa diajukan uji materiilnya kepada Mahkamah Agung yang
memang berwenang menguji aturan hukum di bawah undang-undang.
Qou Vadis Satpol PP
Sejarah
Satpol PP adalah cerita panjang yang bermula sejak zaman VOC menduduki Batavia pada tahun 1620. Gubernur
Jenderal VOC waktu itu membentuk satuan polisi yang disebut Bailluw. Satuan tersebut merangkap jaksa
dan hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara
VOC dengan warga kota. Bailluw bertugas pula menjaga ketertiban dan ketenteraman
masyarakat. Selain Bailluw dibentuk pula satuan baru yang disebut Bestuurpolitie atau Polisi Pamong Praja.
Tugas utama Bestuurpolitie tersebut
adalah membantu pemerintah Kewedanaan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban
dan keamanan.
Pemerintahan pertama bentukan proklamasi tetap melanjutkan keberadaan
Satpol PP meskipun pembentukannya dilakukan secara bertahap dan tidak serempak.
Satpol PP pertama terbentuk adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama
“Detasemen Polisi Pamong Praja”. Di Jawa dan Madura Satpol PP dibentuk tanggal
3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri NO.
UR32/2/21/Tahun 1950. Pada Tahun I960 pembentukan Polisi Pamong Praja mulai
dikembangkan di luar Jawa dan Madura berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun I960 tanggal 30 Nopember I960. Kemudian menjelang
akhir rezim Orde Baru, keberadaan Satpol PP ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Polisi Pamong Praja dengan tetap
mengadopsi pola yang sebelumnya.
Pasca reformasi, keberadaan Satpol PP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 2004. Aturan tersebut mengamanahkan bahwa pada setiap propinsi dan
kabupaten/kota dibentuk Satpol PP yang salah satu kewenangannya adalah melakukan
tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Tidak
mengherankan bila sejak dulu dalam setiap aksinya, Satpol PP selalu bersikap
represif karena memang begitulah aturan hukum mengaturnya.
Tidak berbeda dengan PP Nomor 32 Tahun 2004, di masa pemerintahan SBY jilid
II diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010. Aturan tersebut menegaskan
bahwa Polisi Pamong Praja
adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda
dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Kini, bentrokan berdarah di Tanjung Priok patut
dijadikan momentum terbaik untuk membenahi institusi Satpol PP. Pemerintah,
pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat perlu duduk bersama untuk melakukan langkah
cepat menangani persoalan yang selama ini ditimbulkan Satpol PP. Barangkali
kita perlu berpaku pada pandangan David Layson yang mengatakan bahwa kekerasan
bukanlah suatu kekacauan, tetapi ketertiban yang tidak terkontrol (anarchy is not chaos, but order without
control).
Terlepas dari ide membubarkan Satpol PP, secara
substantif ada dua pertimbangan yang harus diperhatikan untuk membenahi institusi
Satpol PP. Pertama, watak
militeristik Satpol PP harus dihilangkan dalam setiap menjalankan tugas dan
kewenangannnya. Tugas utama Satpol PP dalam mewujudkan ketenteraman masyarakat
akan jauh panggang dari api jika watak militeristik itu terus melekat di tubuh
Satpol PP. Penggunaan senjata berlebihan apalagi senjata api perlu dihapuskan
agar tidak muncul arogansi di tubuh Satpol PP. Aturan hukum yang menegaskan
bahwa Satpol PP berkewajiban untuk menciptakan ketertiban dan rasa tenteram
bagi warga masyarakat harus ditegakkan secara konsisten dan bertanggungjawab.
Kedua, menimbang keberadaan Satpol PP yang berpotensi
memunculkan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum (Perda), perlu diambil
langkah cepat untuk mereposisi kehadiran Satpol PP agar murni menjadi tugas
perbantuan untuk sekedar melakukan tindakan non-yustisial yang bersifat fungsional
dalam hubungannya dengan Kepolisian sebagai penegak hukum sesungguhnya sesuai
amanat UU Nomor 2 Tahun 2002. Terhadap tugas penegakan Perda dan penegakan kode
etik terhadap tindakan indisipliner PNS di daerah bisa diembankan pula kepada
PPNS yang dapat mengkoordinasikan tugasnya dengan unit kerja Badan Pengawas
Daerah.
NB: Hasil Diskusi dengan kakanda Masnur Marzuki, SH, LLM